Tuesday, October 8, 2013

ICHA LANGGANAN SETIA KU


Beberapa bulan terakhir ini aku sering
merindukan mama ica, beliau adalah
salah satu langganan air isi ulangku
yang tinggal di perumahan sebelah
perumahanku. Ya, aku memang
pengusaha depot air minum isi ulang, umurku 34 tahun, dan mama ica
adalah seorang ibu satu anak yang
umurnya mungkin sebaya denganku.
Untuk menanyakan umur pastinya,
enggan sekali aku melakukannya,
karena yang aku tahu masalah umur adalah masalah yang sensitif untuk
seorang perempuan, apalagi bagi
perempuan yang sudah menikah dan
memiliki momongan.
Rasa rindu ini berawal ketika suatu
pagi aku mengantar air pesanannya, saat itu aku melihat perempuan ini
memandu langkahku menuju
dapurnya hanya dengan
menggunakan celana dalaman
(celana tipis transparan selutut-
pembaca mungkin tahu bentuk dan nama celana ini), alhasil celana
dalamnya dan bentuk pantatnya
nampak jelas dihadapanku.
“ah…pagi-pagi sudah mengusik
libidoku yang sejatinya memang
dalam keadaan tinggi bila di waktu pagi…” kataku dalam hati.
“Naikin pak!!!” perintahnya
membuyarkan lamunanku. “Apanya
bu yang mau dinaikin???” jawabku
spontan ngaco karena terkontaminasi
pikiran kotor pada saat itu. “ya galonnya atuh…naikin ke dispenser,
emang apaan yang mau dinaikin???”
katanya sambil menyunggingkan
senyum tipis dari bibirnya yang
chubby.
Begitulah awalnya aku memiliki dendam rindu kepada wanita itu.
Sejujurnya kuakui kerinduan ini
bukan kerinduan cinta kasih, tapi
melainkan kerinduan nafsu. Semenjak
peristiwa pagi itu, sering aku
membayangkan berhubungan badan dengannya, dan setiap kali aku
mengantar air kerumahnya, tak lepas
mataku mencuri-curi pandang pada
bagian-bagian tertentu tubuhnya.
Payudaranya yang tidak terlalu besar,
bulat menantang dari balik baju yang dikenakannya, pinggulnya yang lebar
semakin menambah keindahan betuk
pantatnya yang terlihat tebal dan
berisi, kulit punggung telapak
tangannya saja putih bersih, apa lagi
selangkangannya­, menurutku lebih- lebih lagi.
Saking terobsesinya aku dengan
tubuhnya, sampai-sampai aku
amalkan mantera yang aku dapat dari
browsing di internet. “niat ingsun
kirim mimpen tujuh layaran ning hatine mama ica binti fulan…
blablabla….” Kubaca sebelum tidur
sebanyak 3 kali sambil
membayangkan wajahnya lalu
kepruk bantal 3 kali juga, dan paginya
sering aku dapati dia habis mandi basah setelah malamnya aku bacakan
mantera itu. Aku tak tahu pasti
apakah mandi basahnya itu karena
habis bermimpi bersetubuh denganku
atau karena hal lain. Tapi yang pasti,
sejak aku amalkan bacaan itu, ada- ada saja alasannya untuk berlama-
lama denganku daripada hanya
sekedar ngantar air “Buru-buru amat,
ngopi dulu atuh.” Salah satu contoh
alasan dengan logat daerahnya yang
kental, atau “Pak tolong benerin ini dulu dong!” “Tolong pasangin gas
sekalian ya pak!” serta kalimat-kalimat
pertanyaan singkat yang sifatnya
pribadi, dan yang paling berkesan
adalah tatapan matanya itu,
mengisyaratkan rasa yang dalam. Alhasil kini aku dan mama ica semakin
dekat, tidak lagi sebatas hubungan
penjual dan pembeli, sering di sela-
sela hubungan bisnis, kami isi dengan
saling curhat, atau sekedar obrolan-
obrolan singkat penuh berisi. Berisi, karena dari obrolan itulah akhirnya
aku tahu kalau sebenarnya ia tidak
mencintai suaminya, dari obrolan-
obrolan itulah akhirnya aku semakin
mengenal wanita itu, dan begitupun
dia sebaliknya. Kemarin pagi seperti biasanya aku
ngantar air ke rumahnya, tapi kali ini
aku tidak menunggu dia keluar dulu
untuk mengiringi aku membopong
galon dari pintu depan ke dapur
seperti hari-hari biasanya, kemarin pagi, aku langsung masuk saja karena
aku lihat pintu depan terbuka lebar
tidak seperti pagi-pagi biasanya,
lagipula, aku sudah familier dengan
rumah dan penghuninya ini.
Langkahku terhenti karena kaget dan hampir-hampir saja galon air
ditanganku terlempar karena
mendengar pekik perempuan di
pojok ruang tengah rumah ini. Wajah
perempuan yang memekik itu tidak
asing buatku, tapi seonggok daging kembar yang menggelantung di
dadanya itu yang membuat aku
terkesima tak berkedip dibuatnya.
Sungguh aku terpukau melihat
payudara yang asing di tubuh wanita
yang tidak asing buatku. Payudaranya memang benar tidak besar, tapi bulat
padat berisi, ukurannya sepertinya 32.
Diujung payudaranya menempel
puting besar kemerah-merahan­.
“Maa…maaf mama ica…” kataku
gugup sambil mataku tidak lepas darinya. Dengan santainya dia
menjawab, “ya udah, engga apa-apa,
sayanya juga tanggung abisnya, udah
terlanjur kelihatan.” Katanya sambil
menggerak-gerak­an kedua kakinya
dengan maksud membetulkan posisi celana dalam yang baru saja ia
kenakan. Selangkangan itu benar-
benar putih, pahanya tebal berisi,
ohhh….seonggok daging yang di
balik celana dalamnya itu, begitu tebal
hingga tercetak jelas di celana dalam hitamnya itu. Pelan-pelan aku rasakan
kemaluanku menggeliat bangun dari
tidurnya.
“hei…udah sana atuh terusin ke
dapurnya, malah bengong begitu.”
Katanya sambil berusaha mengaitkan BH warna hitamnya. “Ta….” Belum
selesai aku bicara, dia sudah menyela,
“udah engga apa-apa, kaya sama
orang baru kenal aja, ga usah di
bantu, saya bisa dan biasa makai
pakaian sendiri tiap habis mandi. Udah taruh galonnya didispenser sana, kalo
kelamaan malah sayanya nanti jadi
malu.”
Tanpa menunggu instruksi dua kali,
segera aku berlari kecil menuju dapur
dengan maksud bisa secepatnya kembali lagi ke ruang tengah ini
untuk menyaksikan pemandangan
indah dari tubuh padat mungil mama
ica langganan sekaligus temanku kini.
Tapi sayang, wanita itu kini sudah
berpindah posisi duduk di kursi tamu sambil mengusap-usap rambutnya
dengan handuk. Mataku, terus saja
mencari seonggok daging yang kini
tertutup dengan u can see merah dan
celana pendek hitam.
“Habis mandi basah mama ica?” godaku sambil memrebahkan pantat
di seberang kursi yang dia duduki.
“Tau nih, semalem abis mimpi enak
sama orang, tapi sayangnya bukan
sama suamiku.”
“Katanya engga cinta, tapi ngarepin mimpi sama suaminya sih?” jawabku
spontan. Dia hanya mencibir genit
sambil mencubit pinggangku dan
berlalu meninggalkanku ke dalam
kamar.
Dalam moment seperti ini, adalah saat yang tepat untuk terus menggoda
dan merayunya dengan tujuan bisa
menikmati tubuhnya yang selama ini
aku bayang-bayangka­n. Tapi
keberanianku pupus sejak aku
menikah dengan gadis alim berjilbab dua tahun yang lalu. Padahal semasa
bujang dulu aku begitu lihai
menggoda dan merayu wanita untuk
menaklukannya agar bersimpuh ke
dalam pelukanku.
Pada moment seperti ini bisa saja aku mengikutinya ke kamar, terus
menyergap dan memeluknya,
mencumbunya dan akhirnya
menyetubuhi tubuh mulus itu. Apalagi
sepertinya lampu hijau sudah dia
nyalakan sebagai tanda dia membuka dirinya untuk di nikmatiku. Malah
pernah suatu ketika saat kami sama-
sama di dapur yang Cuma berukuran
1x2,5 m sewaktu aku mau
mengangkat galon ke dispenser, dan
dia sedang mencuci piring, terpaksa aku harus melewati tubuhnya dengan
merapat karena sempit dan sesaknya
dapur ini dengan perabot. Pada saat
itu, kemaluanku menyenggol
pantatnya yang bergoyang-goyan­g
seirama dengan gerakan tangannya mencuci piring. Langkahku tidak aku
teruskan menuju dispenser, karena
aku rasakan dia menggesek-gesek­an
pantatnya ke kemaluanku sambil
berkata “sempiiiit atuhhh….tapi
lumayan ya???” Sungguh, kemarin pagi keberanianku
menaklukan wanita hilang, padahal di
rumah ini hanya ada kami berdua,
anaknya sekolah, suaminya kerja, dan
mama ica sudah menantiku di dalam
kamar sana, mungkin……

No comments:

Post a Comment